.

Selasa, 12 Februari 2013

Hari Kasih Sayang Untuk Koran

“Koran, koran, koran! Beli koran si Koran penjaja koran, Bu! Koran, koran, koran! Beli koran si Koran penjaja koran, Pak!”
Sudah sepekan terakhir ini suara itu terdengar melintas di depan ruang kerjaku, yang jendelanya sengaja kubiarkan terbuka menghadap ke jalan raya. Seperti siang ini, suara yang sama terdengar kembali. Ada sesuatu yang selalu menggelitik telinga, setiap suara itu kudengar. Kalimatnya sangat khas, berbeda dengan penjaja koran lain yang biasa kutemui.
“Koran, koran, koran! Beli koran si Koran penjaja koran, Bu!” “Koran, koran, koran! Beli koran si Koran penjaja koran, Pak!”
Kali ini suara itu terdengar jelas dan sangat dekat di telingaku. Aku beranjak dari kursi menuju jendela. Kuarahkan pandangan ke luar.  Rupanya si pemilik suara sedang berada dalam posisi berhenti tepat di depan jendela ruanganku. Tampak bocah laki-laki berusia sekitar 13 tahun, berkulit hitam manis memakai topi bertuliskan ‘Aku Cinta Indonesia’. Baju dan celana yang dipakainya tampak kumal lusuh tetapi bersih. Bocah berwajah manis itu tidak pernah tahu, jika aku sedang memperhatikannya dengan seksama dari balik jendela. Tiba-tiba saja teringat aku pada mendiang putraku yang telah meninggal dunia sepuluh tahun lalu akibat demam berdarah. Andai putraku masih hidup, usianya tidak jauh berbeda dengan bocah penjaja koran itu. Aku masih saja terjebak lamunan, ketika bocah itu berlalu dari pandangan, sembari mengeluarkan kalimat sama dengan yang sudah-sudah.
“Koran, koran, koran! Beli koran si Koran penjaja koran, Bu!”
“Koran, koran, koran! Beli koran si Koran Penjaja koran, Pak!”
Mendengar suaranya kian sayup di kejauhan, seolah ada kekuatan yang mendorong, aku bergegas keluar ruangan. Beberapa stafku tampak heran melihatku berlari menuju tepi jalan raya. Aku memanggilnya dengan teriakan penuh.
“Koraaan! Koraaan!”
Bocah itu berbalik. Dengan langkah cepat dia menuju ke arahku.
Dengan agak tersengal si bocah kemudian berdiri sambil tersenyum kepadaku. Senyuman yang kunilai sangat apa adanya. Ya, senyum anak-anak yang natural!
“Aku senang ibu memanggil namaku.” Katanya polos dengan mata mengarah ke wajahku. Aku berdegup sesaat. Mata bocah itu sangat jujur tapi saran beban. Bibirnya tampak kering. Kupikir dia sangat kehausan. Tanpa berkata apa pun, spontan kutarik tangannya menuju kantin di komplek kantor. Kemudian kami duduk saling berhadapan. Aku memesan dua botol minuman dingin dan dua porsi nasi ayam goreng. Pandangan bocah itu tidak pernah beranjak dariku. Aku paham dia sangat heran melihatku memperlakukannya. Tiba-tiba dia berbicara dengan agak tersendat-sendat. Dia mengulang kalimat yang sama saat pertama tiba di depanku tadi.
“A, aku senang ibu memanggil namaku!”
“Oh, memangnya namamu Koran, ya?” Tanyaku heran.
“I, iya, Bu! Namaku Koran, si penjaja koran. Konon, almarhum kakek dan Bapak sudah menjadi penjaja koran sejak mereka masih seusiaku. Yah, pekerjaan yang turun-temurun. Mungkin itulah sebabnya ketika aku lahir diberi nama Koran.”
Aku tersenyum mendengar ceritanya yang mengalir begitu ringan. Kupandang wajahnya lekat-lekat. Dia tersenyum. Sepasang lesung di pipinya sangat menarik. Kulihat barisan giginya putih terawat. Dapat kusimpulkan, bocah ini sangat peduli dengan kebersihan. Meski pun kulitnya agak legam tetapi kelihatan bercahaya. Lalu kami memulai menyantap makanan yang sudah tersaji di meja. Sesekali mataku melirik caranya menikmati makanan. Sikapnya begitu santun. Tidak sedikit pun terkesan terburu-buru seperti bocah-bocah jalanan yang tidak terurus. Bahkan nyaris tidak pernah terdengar suara sendok dan garpu bersinggungan. Air mukanya agak redup manakala kutanya di mana kedua orang tuanya.
“Ibu meninggal saat melahirkanku. Menurut cerita Bapak, aku lahir bertepatan dengan demonstrasi besar-besaran saat Pak Harto diminta mundur jadi Presiden. Ibu yang saat itu mengalami pendarahan terpaksa dilarikan ke rumah sakit, tetapi terjebak para pendemo di sepanjang jalan. Jadi aku lahir di atas angkot dibantu penumpang yang prihatin melihat kondisi ibu. Masih kata Bapak, ari-ariku dibungkus pakai koran. He, he, he!”
Aku tercekat! Bocah itu masih bisa tertawa saat menceritakan kisah pilu hidupnya. Tapi, tawanya sangat sumbang! Seperti sedang menertawakan kesedihan. Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan kedua, bocah itu kembali bercerita di sela suapan nasinya.
“Oleh sebab itu, aku paling tidak suka melihat orang-orang demo di jalan-jalan. Itu sangat mengganggu dan bisa membunuh orang lain yang tidak tahu apa-apa!”
Aku kian terpesona dengan cara bocah itu menyusun kalimat yang harus diungkapkanya. Bocah yang cerdas kukira. Kuperhatikan garis wajahnya yang mulai terlihat sangat tegang. Tatapanku beralih ke matanya. Ada genangan kecil di sana. Kuraih tangan kecilnya yang legam. Kusiapkan kata-kata yang bisa menenangkannya.
“Koran, ibumu pasti bangga melihat anak yang dilahirkannya sepertimu. Yakin, kamu anak yang baik. Kamu tidak seperti anak lain, yang seusia denganmu. Kamu telah belajar hidup mandiri dari kecil. Insyaallah, kelak kamu bisa menjadi orang besar, nak!”
Seusai aku berkata demikian, kulihat kedua telapak tangannya menengadah ke atas. Bibir kecil bocah itu bergumam, “Aamiin!”
Sesak haru yang membalut rongga dadaku dari sejak tadi, tiada tertahan lagi. Airmataku mulai bergulir perlahan satu demi satu. Kuraih tangannya kembali. Rasanya aku ingin meniupkan kekuatan lewat ujung-ujung jemarinya. Tetapi, aku kalah! Bocah itu kembali berbicara dengan tenang, seakan memintaku untuk tidak larut dalam kesedihan.
“Kenapa Ibu menangis? Aku tidak pernah menangis, Bu. Meski di dunia ini aku kini hidupa sendiri, tetapi aku tidak pernah merasa sebatangkara. Tuhan selalu menjagaku, sejak..,”
Dalam henyak ke sekian kalinya, kupotong kalimatnya dengan spontan.
“Apakah kamu hidup sebatangkara di dunia ini? Lalu kamu tinggal di mana? Lantas, Bapakmu di mana sekarang?” Pertanyaanku beruntun tak terkendali sudah. Terasa emosiku kian diaduk-aduk.
“Aku terpisah dengan Bapak, pada musim hujan dua tahun yang lalu, Bu. Saat itu hujan deras tidak berhenti-henti. Aku yang sedang menjaja koran, tidak bisa pulang. Banjir meluap masuk kota. Gubuk koran kami di pinggir kali hanyut dibawa air bah, sedangkan Bapak berada di dalamnya. Tetapi, kata beberapa orang, Bapak sempat diselamatkan dan diangkut pakai truk entah ke mana, Bu!”
Matanya kembali kuyuh dan berlinang, ibarat kolam yang airnya sedang beriak. Gerahamnya mengeras. Sepertinya Koran sedang menahan bendungan yang hampir bobol. Tangan kecilnya gemetar. Dan, dia tidak menangis. Aku berdiri dan menghela tubuhnya ke pelukan. Orang-orang di kantin itu menatap kami dengan perasaan masing-masing. Aku tidak peduli. Kukatakan kepadanya dengan kelembutan seorang ibu.
“Percayalah Nak, Tuhan akan mengantar kamu bertemu Bapakmu. Atau Tuhan akan mengantar Bapakmu bertemu kamu pada suatu hari!”
Kurasakan dadanya yang menempel di tubuhku bergemuruh. Namun, bocah itu tidak menangis. Kulepaskan tubuhnya dari pelukan. Kutatap kembali wajah polos itu. Dia tersenyum kepadaku. Senyum yang tawar. Kurogoh tiga lembar uang seratus ribu dan kumasukkan ke tas plastik yang menempel di tubuhnya. Aku tak sanggup berlama-lama di dekat bocah itu. Bayangan almarhum putraku melintas penuh di pelupuk mata. Aku kian diremas kepedihan.
“Pergilah, Nak! Ibu telah menaruh uang di tasmu. Bawalah! Kamu bisa membeli kebutuhan sekolahmu. Kalau kamu butuh apa-apa, datanglah temui ibu, ya?!” Kataku menahan haru.
“Aku sekolah hanya sampai kelas lima, Bu. Sejak Bapak hilang, aku berhenti sekolah. Aku sibuk mencari Bapak, ke mana-mana. Aku pindah dari satu tempat ke tempat lain, siapa tahu bertemu Bapak”
“Ja, jadi kamu telah berhenti sekolah, Nak?” Lalu..,?!
Belum selesai aku berbicara, Koran memotong kalimatku.
“Walaupun aku sudah tidak sekolah, tapi aku tetap belajar, Bu. Sebelum langganan dan para pembeli membaca koran-koranku, aku telah membacanya terlebih dahulu. Semua koran yang aku jual, pasti aku baca. Aku tidak pernah berhenti belajar. Aku ingin semua penjaja koran di Indonesia itu pintar. Siapa tahu nanti ada penjaja koran yang bisa jadi presiden, ya, Bu. Karena setiap hari dapat ilmu dari koran, he, he, he!”
Tawanya renyah sekali. Kekagumanku kepada si Koran penjaja koran itu kian menebal. Sebuah rencana mulai tersusun di pikiranku. “Bocah ini harus diselamatkan.” Kata batinku bertalu-talu.
Matahari mulai tergelincir condong ke arah Barat, saat Koran berpamitan pergi. Kutatap punggungnya. Langkahnya lurus tegak penuh keyakinan. Kuayunkan langkah memasuki ruangan, dengan perasaan yang tidak biasanya. Ibarat seorang perempuan yang sedang mengidam, aku membayangkan diriku akan menjadi seorang ibu dari anak yang baik dan cerdas!
Hari sudah senja saat mobilku memasuki komplek perumahan tempat tinggal kami. Pak Pincang, begitu tukang kebun di keluarga kami kupanggil. Bapak separuh baya itu begitu setia menunggu kendaraanku memasuki gerbang rumah. Kubayangkan pula Mas Syauqi sang suami tercinta akan menjadi pendengar yang baik dari cerita pertemuanku dengan Si Koran penjaja koran siang tadi.
Setelah pertemuan dengan Si Koran penjaja koran, tiba-tiba saja aku memiliki kebiasaan baru. Aku selalu memasang telinga lebih awas ke luar agar mendengar teriakannya yang khas itu. Hari ini, aku berencana mengikuti ke mana si Koran pergi. Aku tidak bermaksud menyelidikinya. Suamiku menyarankan, aku harus berhati-hati dengan orang baru walau pun penampilannya seperti wali. Terutama terhadap anak-anak yang terbiasa hidup di jalanan. Tetapi hatiku berkata lain. Si Koran itu berbeda. Si Koran anak yang lain dari yang lain. Aku sudah jatuh hati sejak pertemuan pertama. Lamunanku buyar seketika, saat terdengar suara Si Koran dengan keunikan yang kusukai.
“Koran, koran, koran! Beli koran Si Koran penjaja koran, Bu! Koran, koran, koran! Beli koran Si Koran penjaja koran, Pak!”
Kuintip dari balik tirai jendela. Kulihat dia memasuki komplek kantorku, lalu menghilang ke belakang. Suaranya tidak terdengar lagi. Kucari dia ke belakang. Bocah sedang duduk di tempat kemarin saat makan bersamaku di kantin. Setelah aku berdiri di hadapannya, dia mengambil tanganku untuk bersalaman. Dia mencium tanganku dengan takzim. Ciuman di punggung tanganku terasa sangat menyejukkan. Sesaat kemudian, dia merogoh sesuatu di dalam tas plastik bekas bungkus sepatu yang tergeletak di pangkuannya. Tiga lembar uang ratusan ribu yang kuberikan kemarin itu digenggamkannya ke tanganku.
“Ibu tidak boleh memberiku uang sebanyak ini, hanya karena ibu kasihan kepadaku. Di tas ini aku menyimpan tabunganku sendiri. Setiap hari aku menyisipkan limaribu rupiah, Bu. Ambillah uang ibu kembali. Aku takut setelah ibu memberiku uang banyak, aku malu bertemu ibu lagi.” Katanya dengan mata terus menatapku.
Aku bergetar tidak karuan. Bocah sekecil ini berbicara ala pria dewasa di hadapanku. Bocah yang dibesarkan di jalanan ini, sanggup memintal kekagumanku sedemikian kuat. Kutatap matanya dengan penuh ketulusan.
“Tapi, ibu ikhlas memberikannya kepadamu, Nak!” Ujarku.
“Aku tidak butuh uang. Tetapi aku ingin ibu!” Suaranya bergetar pelan.
“Boleh, kan, aku menemui ibu ke sini setiap hari?” Tanyanya dengan nada penuh pengharapan.
“Bo, boleh sekali, Nak! Sangat boleh!” Jawabku meyakinkan.
Tiba-tiba bocah itu meloncat-loncat kegirangan. “Horeeee! Horeee!”
“O, ya, Bu, hari valentine nanti ibu ke mana?” Aku terkaget-kaget mendengar pertanyaan si penjaja koran sekecil itu tentang hari Valentine. Hari bagi kaum menengah ke atas.
“Hai, kok, kamu tahu tentang hari Valentine?” tanyaku penasaran.
“Aku, kan, penjaja koran, Bu. Semua isi koran kubaca. Semua hari-hari besar kuhapal. Semua yang terjadi di Indonesia aku tahu, Bu. Hari Valentine, hari kasih sayang, kan, Bu?” He, he, he!”
Kami berdua tertawa bersama. Kemudian Koran pamit untuk berjualan koran lagi. Saat dia berlalu, kuambil kendaraan. Aku mengikuti irama kakinya dari belakang. Sesekali dia berhenti karena ada yang membeli korannya. Suara adzan zuhur mulai mengalu dari kubah-kubah masjid. Tiba-tiba Si Koran berhenti di dekat mushollah kecil yang biasa kulewati itu. Kuhentikan kendaraan tidak jauh dari mushollah. Dari balik kaca mobil, aku kembali dibuat terperangah oleh bocah penjaja koran yang baru saja kukenal. Bocah itu mengambil air whudu’ dan langsung menuju dalam mushollah untuk menunaikan sholat! Subhanallah! Manusia sekecil itu, yang hidup sebatangkara di alam besar ini sedang menghadapkan diri kepada Tuhanya. Sedangkan aku? Aku yang hidup dalam kondisi berkecukupan, dengan jabatan strategis, di tengah orang-orang yang mencintaiku, terlalu sering mengabaikan keberadaan Tuhan. Aku terjajar dengan perasaan malu. Aku merasa lebih rendah dan sangat kecil dibanding dengan si Koran. Aku perih pedih bagai habis dirajam seribu pedang. “Ya Tuhan, ampunilah aku!”  Aku masih saja menangis ketika bocah itu keluar dan langsung pergi. Kuhidupkan mobil, dan kembali mengikutinya. Dia masuk gang. Aku terus mengikutinya. Di belakang sebuah toko besar, dia berhenti di depan gubuk kecil beratap kardus. Lalu dia masuk ke dalam gubuk kecil itu. Ya Tuhan, aku ingin berteriak. Kubayangkan almarhum putraku yang sendirian di alam kubur. Tangisku meledak. Badanku menggigil kedinginan. Setelah tenang, mobil kularikan sekencang-kencangnya menuju rumah. Mas Syauki harus menerima saranku. Koran, harus tinggal di bersama kami. Harus!
Langit ibukota gelap gulita sejak pagi tadi. Suara guntur memekakkan telinga. Gerimis mulai turun membasahi jasad kotaku. kemudian hujan turun dengan deras, seolah-olah lautan di langit sedang menumpahkan seluruh air ke bumi. Ada yang berbeda kurasakan. Suara khas bocah si pencuri hatiku tidak terdengar di sepanjang hari ini. Bahkan hingga keesokan harinya. Dan, keesokannya lagi. Aku mulai cemas. Sudah tiga hari ini Koran tidak datang ke komplek kantorku. Sedangkan besok hari Valentine 14 Februari. Aku mempunyai rencana besar yang akan mengubah hidup bocah itu ke depan. Sepulang dari kantor, aku mencarinya ke belakang pertokoan itu. Ya, Tuhan, gubuk kardus tempat tinggalnya si bocah sudah dilibas banjir yang merendam pemukiman. Hatiku bergetar. Dunia terasa berputar-putar. Aku mulai panik sendiri. “Ya Tuhanku, kemanakah bocah malang itu, tolong selamatkan dia!” Aku merintih dalam doa. Kususri jalanan. Mataku liar ke sana kemari. Namun Koran tidak ada di mana-mana. Aku menangis hingga tiba di rumah. Mas Syauki menghiburku dengan berbagai kalimat menertibkanku.
Hari ini, 14 Februari, bersama mas Syauki, kami menyusuri komunitas anak-anak jalanan, pusat-pusat keramaian untuk mencari si Koran. Semua nihil. Dalam keputus-asaan kuajak suamiku menuju kantor. Aku ingin duduk di bangku kantin tempat pertama kali aku dan koran bertemu. Suasana di kantorku yang sudah tutup begitu sunyi. Kulangkahkan kakiku menuju kantin. Aku terkesiap! Seorang bocah sedang tergeletak dalam posisi menggigil di atas meja kantin. Aku berteriak histeris, “Koraaaan!” Mendengar teriakanku, mas Syauki segera mendekati kami. Kupeluk bocah itu. Badannya menggigil dengan suhu yang sangat tinggi. Seluruh tubuhnya panas. Kubisikan telinganya, “Koran, ini Ibu, Nak!”
Matanya terbuka. Tangannya memelukku lemah. Bibirnya mendesis lirih, “Ibu?” Airmataku tumpahruah. Atas inisiatif suamiku, Koran kami bawa pulang ke rumah. Dokter keluarga kami akan merawatnya dengan intensif. Aku jadi teringat, posisi Koran saat kutemukan di kantin tadi, sama persis dengan posisi Pak Pincang saat aku dan suami menemukannya tergeletak di emperan toko dua tahun yang lalu.
Setiba di rumah, kupanggil pak Pincang tukang kebun kami. Pria tua itu berlari ke arah pintu mobil seperti biasanya.
“Pak Pincang, tolong bantu mas Syauki mengangkat anak kecil di dalam mobil ya?” Perintahku.
Saat pintu mobil terbuka, sekonyong-konyong Pak Pincang berteriak histeris sebelum dia jatuh terjerembab ke tanah.
“Koraaan anakkuuu!”
Aku dan mas Syauki terperangah serempak. Subhanallah. ternyata Bapak yang dicari-cari si Koran selama ini hidup satu rumah denganku. Ya Tuhan Yang Maha Kasih-Sayang. Di hari kasih-sayang ini, dengan penuh keajaiban Kau telah mempertemukan anak dengan Bapaknya. Dan, atas kasih-sayang-Mu jua, aku dan suami kini mendapatkan ganti seorang anak yang baik, pintar dan sholeh. Namanya Koran si penjaja koran. Koran adalah kado terindah dari Tuhan untuku di hari valentine tahun ini. Dan, HARI KASIH SAYANG INI UNTUKMU KORAN, ANAKKU

Jumat, 08 Februari 2013

Novel Tak Sempurna

Kami hidup di dunia yang tak sempurna. Saat pagi memaksa kami pergi sekolah untuk bekerja keras demi masa depan yang tak jelas. Guru-guru bagai diktator yang meneror kami agar menanam pohon masa depan yang seragam--disiram hapalan dan dipupuki serangkaian ujian yang membuat kami ketakutan.

Kamilah anak-anak sampah, seperti kata Tuan dan Puan pemerhati pendidikan, tak punya masa depan! Maka kami meledakkan amarah dan kesedihan kami di jalanan, jadi tawuran atau perkelahian. Kami pecahkan jerawat batu pubertas kami dengan adegan-adegan telanjang di depan kamera atau di tempat-tempat gelap yang rahasia. Kami rayakan kesedihan kami dengan narkoba.

Tapi di mana para orang tua saat kami rindu kasih sayang mereka? Kenapa mereka selalu sibuk? Di mana pemerintah, penegak hukum dan pemuka agama? Kenapa pelajaran moral tak pernah sungguh-sungguh kami dapatkan dari lingkungan kami yang nyata? Di bahu siapa kami bisa menangis? Di dada siapa kami bisa menemukan rasa bangga dan rasa percaya?

Demi kebahagiaan dan waktu bermain kami yang direnggut, direbut, diringkas dan diringkus, kami menyatakan perang pada segala bentuk perampokan dan pengkhianatan terhadap hak-hak kami--baik sebagai anak-anak maupun sebagai manusia.

Sinopsis dari buku Novel Tak Sepurna  karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black.