.

Jumat, 31 Agustus 2012

Ayah, Tingkat Spiritual Anda Bentuk Pribadi Anak

Ingatkah anda cerita
kerelaan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan
putra pertamanya, Ismail, atas perintah Allah
s.w.t? Dan bagaimana Allah mengampuni
Ismail dan mengangkat ia pula sebagai
Nabi?
Ketika Ibrahim berkata kepada putranya ia
memiliki ilham bahwa Allah ingin ia
menyembelih Ismail, sang putra patuh tanpa
keengganan sedikit pun. Hal yang paling
luar biasa dari kisah itu adalah bagaimana
Ismail begitu percaya sepenuhnya pada
kebenaran ilham sang Ayah.
Beberapa anak lelaki saat ini yang akan
bereaksi serupa Ismail ketika orang tua
berkata pada mereka, "Tuhan menginginkan
aku mengorbankan dirimu?. Mungkin
sebagian akan menjawab, "Apa Bapak
sudah gila?. Mereka mungkin menerima idea
berkorban untuk agama, namun bakal sulit
menerima keyakinan hubungan sang ayah
dengan Allah, seperti yang pernah dilakukan
Ismail.
Inilah letak peran penting seorang ayah
dalam keluarga. Kepercayaan mendalam
hanya dapat dihasilkan dari hubungan
sangat dekat. Tentu saja mereka berdua
nabi dan dari segi keutamaan dan
kedudukan jauh dari manusia biasa.
Namun ada hal-hal besar yang dapat
dipelajari oleh keluarga Muslim saat ini.
Pemaparan dari ahli psikologi keluarga,
Marria Husain, dari situs keluarga Zawaj
berikut layak untuk dijadikan refleksi.
Menghormati Kepercayaan Keluarga
Faktor pemimpin keluarga sangat besar di
sini, yakni ayah. Kini berapa keluarga yang
benar-benar membesarkan anak sebagai
semata-mata ibadah dan ikhlas kepada
Allah? Sebaliknya berapa banyak keluarga
Musim yang mengguyur anak-anak mereka
dengan kencang dalam hal keuangan dan
material, atau mendorong mereka untuk
meraih sebanyak mungkin gaji, jabatan,
kedudukan, ketenaran dan materi lain?
Banyak orang tua yang kini mengambil alih
mimpi anak. Tentu orang tua ingin melihat
anak mereka berhasil, sekolah di tempat
baik, mendapat jodoh yang baik, tapi itu
bukan segalanya dan belum tentu yang
diinginkan anak.
Anak-anak saat ini dikorbankan untuk
jadwal yang padat, bahkan saat mereka di
usia kanak-kanak. Orang tua pun tak bisa
melepaskan diri dari harapan tinggi pada
anak-anak sekaligus melupakan bahwa
anak-anak pun berhak menuntut dari orang
tua. Padahal dalam tradisi para nabi, bila
pria menghabiskan waktu bersama
keluarga akan dinilai sebagai ibadah.
Cukup memprihatinkan saat ini, banyak
keluarga Muslim dikorbankan karena selip
pemahaman sang ayah. Pemahaman itu
membuat lelaki berkeluarga meninggalkan
keluarga demi aktif di komunitas luar.
Saat ini, menurut Maria Hussein, para lelaki
kadang berpikir berlebihan dengan
menganggap keluarga akan menghalangi
kecintaan terhadap Allah, sehingga mereka
berjarak dengan istri dan anak-anak. Yang
terjadi, para lelaki tipe ini memang kerap
terlibat dalam pelayanan komunitas,
berlama-lama dalam masjd, menolong orang
lain, sementara di rumah hanya berbincang
sekedarnya, melakukan aktifitas seperlunya
karena energi telah terkuras sebelum
akhirnya tidur kecapaian.
Namun, itu masih lebih baik. Maria
menuliskan ada lagi tipe yang lebih parah,
meski tipe ini dan tipe di atas sama-sama
tidak memandang keluarga sebagai alat
untuk beribadah dan mendapat keikhlasan
Allah. Tipe kedua si ayah berjarak dari
keluarga karena mengejar material.
Memang, untuk memenuhi kebutuhan hidup
di dunia, manusia harus bekerja. Namun
urusan dunia bukanlah segalanya. Kedua
tipe ayah di atas menurut Maria, dapat
memberi dampak buruk bagi anggota
keluarga lain.
Perasaan merasa diabaikan dan ditolak
sangat mungkin terjadi pada anak. Bila
beberapa bulan atau tahun anak-anak
terbiasa tinggal tanpa ayah itu sangat
beresiko. Akan muncul perasaan tidak lagi
butuh sosok ayah dan akhirnya hilang
perasaan kedekatan. Artinya si ayah
sebenarnya telah 'kehilangan' anak mereka.
Dalam kehidupan saat ini, tidak cukup bagi
seorang ayah untuk hanya datang dan
membawa uang lalu merasa pekerjaan
sudah beres.
Baik anak lelaki dan perempuan
membutuhkan waktu bersama ayah. Anak
lelaki yang terabaikan oleh ayah secara
psikologi cenderung mengembangkan
perilaku kasar, melanggar norma dan
hukum dan selip secara seksual saat remaja.
Sementara anak perempuan yang tak
mendapat cukup penghargaan, perhatian
dan cinta kasih ayah akan lebih rentan dari
predator seksual. Hal itu karena, dibawah
sadar, mereka mencari kasih sayang atau
peran pengganti ayah.
Kebutuhan didorong perasaan putus asa
untuk cinta kasih dan pengakuan kerap
membuat remaja melakukan perilaku
terlarang dan merusak. Sementara anak-
anak berbahagia yang mendapat
kesempatan bersama sang ayah untuk
bersenang-senang, beraktivitas bersama
cenderung memiliki masalah sosial. Mereka
bahkan bakal mengembangkan pribadi
lebih stabil dan memenuhi kewajiban
pernikahan dengan baik tahun-tahun
kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar