Baru berjarak 10 meter, baunya sudah sangat
menyengat. Siapapun yang lewat di tempat itu, pasti akan menutup
mulutnya, tanda bukti penolakan terhadap baunya itu. Saya yang daritadi
berdiri menunggu pun sama, tapi semakin lama mulai terbiasa hingga akhirnya telapak tanganku lepas dari mulutku.
Beda dengan Pak Ebo (30 tahun), ia berjalan nyeker
tanpa alas kaki, membawa karung palstik, berjalan serius mendekati
tempat yang kami sebut TPS itu. Setelah melewatiku, kulihat kakinya
penuh bercak dan luka, bajunya lusuh dan kotor, begitu juga celananya.
“Ya.. itu orangnya..” gumamku sambil melihat
pak Ebo. Kemudian kukejar dia hingga sampai di TPS (Tempat Pembuangan
Sementara). Setelah mereview list pertanyaan dari kuisioner tugasku, aku
langsung berbaur dan memulai wawancara santai dengannya.
“Pak lagi nyortir? Kalo plastik ini
diambil juga gak?” tanyaku setelah berbasa-basi, sambil memegang sampah
plastic merah yang (pastinya) bau ini.
“Iya, kalo yang ini gak dipake, paling yang ini duplex, botol plastik juga..” sambil menunjukkan tetrapack bekas minuman kotak.
“Kalo baterai bekas, gimana pak?” tanyaku lagi
“Kalo Baterai bekas mah sudah gak
laku…” Jawabnya. Kemudian kutanyakan mengenai penghasilannya perhari dan
cakupan rumah garapannya. Maka Pak Ebo, yang berdarah jawa mengatakan,
“per hari cuma Rp.15.000, kurang lebih buat makan, kalo nyortir rumah bisa sampe 50 rumah sehari” jawabnya.
“Pernah merasa sakit gak Pak, karena sampah gitu?” tanyaku lagi
“Pernah, panas dingin seminggu… pernah juga sampe sakit perut. Kalo berobatnya di puskesmas, biasanya ngutang” jawabnya lagi.
Kemudian kulanjutkan dengan pertanyaan lain yang lebih spesifik mengenai tugas praktikum Mata Kuliah Teknik Sanitasi Lingkungan ku. (Hasil wawancara, 15 September 2012)
***
Dengan penghasilan hanya Rp.15.000/hari dengan lama kerja ±10 jam (5.30-15.00) tiap hari,
ditambah potensi penyakit yang berbahaya (bahkan biayanya pun ngutang)
mungkin adalah konsekuensi pekerjaannya itu. Tapi, efek positif dari
pekerjaannya adalah tulang punggung keberlangsungan lingkungan. Sampah-sampah yang disortirnya kebanyakan adalah jenis undegradable atau tidak dapat didegradasi seperti plastik kemasan dan botol air mineral (Degradibilitas-tingkat terurai alami- hingga 0%) dan jenis tetrapack atau duplex (Degradibilitas 50%).
Dengan begitu, Alam menjadi sangat terbantu
dalam menguraikan dan membersihkan ekosistemnya. Sampah-sampah pun
menjadi mudah dikelola kembali, karena sudah dipilah-pilah sejak awal.
Selain itu, wadah penampungan sampah di rumah-rumah menjadi cepat bersih
mengingat para pemulung mengambil secara rutin tiap pagi.
Namun, layaknya guru, hampir semuanya
terlupakan. Bahkan lebih parah lagi, TERHINAKAN. Masih teringat ketika
tanggal 11 September 2012 pagi hari-saat saya juga mencoba ke TPS untuk
mencari data ke pemulung- itu, kami hampir terkena lemparan sampah yang
dibuang dengan tidak sopan ke TPS tersebut. Seorang pengendara motor
membuang sampahnya yang dibungkus ke TPS, tanpa berhenti lebih dahulu
(bahkan mungkin belum sempat melihat apa ada orang di TPS atau tidak).
Dampaknya saya sedikit terkena cipratan airnya.
Penghasilan yang sedikit tentunya tidak
seimbang dengan pekerjaan mulianya tersebut. Jika seluruh karung berisi
botol plastik, dengan total berat 8 kg maksimal hanya mendapat
Rp.12.000. Paling baik jika Pak Ebo bisa dapat minimal 10 kg besi tua,
itu setara dengan Rp.30.000. Jika dibandingkan biaya hidup di
kami-mahasiswa- penghasilan Pak Ebo yang Rp.15.000/hari hanya sebanding
dengan uang makan seharian (3x makan di warteg dengan menu
nasi+sayur+tahu+dadar). Apalagi jika Pak Ebo harus menanggung kedua
anaknya yang usia 6 tahun dan 3 tahun.
Maka wajarlah, jika seharusnya para pemulung
mendapat gelar PAHLAWAN LINGKUNGAN. Yang sejauh ini belum satupun
mendapat tanda jasa (penghargaan), minimal sikap kita terhadap mereka.
#Salam Lingkungan Sehat!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar