Lelaki itu kembali memikul dagangannya; dua keranjang besar yang
dipenuhi bersisir-sisir pisang. Bayang-bayang pohon sudah lebih panjang
dari dirinya sendiri-jam dinding di sebuah toko yang baru saja dia
lewati mengabarkan bahwa waktu beranjak senja. 14.28, tujuh jam lebih
sejak kali pertama lelaki paruh baya itu menginjakkan kaki di seberang
pintu rumahnya pagi tadi. Sesiang ini, tak sesisir pun pisang terjual.
Dia menyusuri jalan-jalan, memasuki liang-liang gang yang sempit dan
dipadati rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak menjajakan
dagangannya, “Pisaaaang... Pisaaang... Pisaaang...”
Tak seorang pun menyahut. Tak seorangpun memanggil untuk berhenti. Di
gang sempit, orang-orang hanya memandang lelaki itu sekilas-seperti
berkata pada diri mereka sendiri, “Oh, ada tukang pisang lewat”-lalu
kembali sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Seorang ibu muda
sedang menyuapi anak perempuannya, pemuda gondrong sibuk mencuci motor
barunya, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa. Sementara lelaki itu,
sang penjual pisang, terus berjalan menjemput rejeki yang entah
bersembunyi di mana. “Pisaaaang... Pisaaang... Pisaaang...,” dan masih
saja tak seorang pun memanggilnya untuk berhenti-sekadar tertarik pada
pisang dagangannya.
Sementara detik-detik terus berguguran di sepanjang langkahnya yang
berat, lelaki paruh baya penjual pisang mulai merasakan lapar yang
melilit di perutnya. Ia berhenti sejenak di persimpangan jalan, tepat
menghadap masjid yang sedang mengumandangkan azan. Kemudian, lelaki
penjual pisang menarik nafas panjang, mengusap keringat-lantas
meneruskan langkah ke muka masjid. Ashar telah tiba dan dia berniat
mengistirahatkan tungkai kakinya yang lelah sambil menunaikan Ashar bagi
Tuhannya.
Usai shalat, sang penjual pisang duduk di pelataran masjid menghadap keranjang dagangannya. Lapar masih melilit perutnya.
“Berapa pisangnya?” Suara berat seseorang memecahkan kristal lamunannya.
Lelaki tambun dengan kantung plastik hitam di tangan kanannya.
“Eh, yang itu tujuh ribu, Pak.”
“Lima ribu, ya?”
Lelaki penjual pisang berpikir sejenak, “Kalau enam ribu tidak apa-apa,
Pak. Ambil saja. Kalau lima ribu belum bisa.” Dia tersenyum ramah.
“Ya sudah, saya beli dua sisir yang ini.” Lelaki tambun menunjuk pisang pilihannya.
Dengan cekatan, lelaki penjual pisang memasukkan dua sisir pisang ke
dalam kantung plastik hitam. “Ini, Pak.” Katanya setelah selesai.
“Ini uangnya, kembaliannya ambil saja,” kata lelaki tambun itu.
Penjual pisang berdebar. Sedetik napasnya tertahan. “Wah, terima kasih
banyak, Pak. Semoga rezeki Bapak selalu lancar dan dimudahkan...”
“Amin,” jawab lelaki tambun itu, pendek, sambil tersenyum. Lalu pergi.
Penjual pisang mengipas-kipaskan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah dan
lima ribu rupiah di atas pisang dagangannya. Dia berharap uang itu bisa
menular, semacam mantra, sihir pedagang yang bisa mengubah pisang jadi
uang. Barangkali.
Lelaki itu segera beranjak dari tempat duduknya. Meneguhkan kembali
keyakinan bahwa Tuhan tak mungkin membuat nya menderita hingga ia tak
bisa menahannya. Dia kembangkan lagi dadanya, dia tegakkan langkahnya,
lalu kembali menghitung langkah menemui rezeki yang dia yakini sedang
menunggunya di berbagai sudut bumi. Meski lapar masih melilit perutnya,
penjual pisang terus berjalan... “Pisaaaang... Pisaaaang...
Pisaaaang...”
Tak pernah ada nestapa yang tak berkesudahan, Kalky. Hidup selalu punya caranya sendiri untuk melobangi kebuntuan.
Lelaki paruh baya penjual pisang tiba di sebuah sudut perkampungan. Di
sana beberapa pedagang sedang berkumpul; penjual mie ayam, gulali, dan
mainan anak-anak. Dia segera bergabung. Seperti bertemu saudara sendiri,
mereka menyambut lelaki penjual pisang dengan penuh kehangatan dan
keramahan.
“Sudah laku berapa, toh?” tanya pedagang mie ayam berlogat Jawa.
“Yah, sekarang memang susah, kalau dagang buah-buahan begini.” Kata lelaki penjual pisang diakhiri tawa.
“Sama,” kata penjual gulali, “Sekarang anak-anak dilarang jajan gulali sama orangtuanya. Jualan ginian jadi susah.”
Mereka semua tertawa. Seolah beban yang mereka pikul berlepasan satu per
satu. Penjual mainan anak-anak mulai merapikan dagangannya.
“Sudah makan, belum?” kata penjual mie ayam pada lelaki penjual pisang.
“Belum,” jawab lelaki penjual pisang, singkat.
“Barter karo pisang sesisir, yo? Tak kasih semangkuk jumbo mie ayam spesial! Gelem ora?”
“Boleh, boleh...” kata lelaki penjual pisang antusias.
“Sip!” Penjual mie ayam tersenyum mengacungkan jempolnya, mengangkat kedua alisnya.
Lalu, penjual mie ayam mulai meracik semangkuk mie ayam spesial yang
dijanjikannya. Aromanya mulai membebaskan lapar yang melilit di perut
lelaki penjual pisang. Dia tersenyum. Air liur mulai membasahi rongga
mulutnya.
Kalky, hidup selalu indah pada waktunya. Dan tuhan tak pernah tertidur untuk melupakan mereka yang percaya pada takdirnya.
07.39, selepas Isya, lelaki penjual pisang sudah sampai di rumah
kontrakan kecilnya. Anak-anak dan istrinya sudah menunggu untuk makan
malam seadanya; pepes tahu dan kerupuk bawang.
“Hore, Bapak pulang!” teriak anak lelakinya, yang paling besar. Dia
berlari menyambut bapaknya, adiknya yang perempuan membuntuti dari
belakang. Kedua anak itu memeluk kaki bapaknya. Lelaki penjual pisang
mengusap-usap rambut mereka, mencium keningnya satu per satu, “Ayo, kita
makan!” katanya kemudian.
Istri mencium tangannya. Lelaki penjual pisang tersenyum tulus ke arahnya. “Makan apa kita hari ini, Bu ?”
‘’Pepes tahu dan kerupuk bawang.” Kata istrinya ramah.
“Alhamdulillah...” kata lelaki penjual pisang.
“Ini uang untuk belanja besok, dan untuk jajan anak-anak.” Lelaki
penjual pisang menyodorkan dua lembar lima ribuan dan selembar sepuluh
ribuan.
“Laku banyak hari ini, Pak ?” Istrinya menyodorkan segelas air putih.
“Enam sisir...,” katanya, kemudian ia meneguk segelas air putih di
hadapannya, “Satu sisir ditukar mie ayam, satu sisir lagi ditukar mainan
ini!” Sambungnya sambil mengeluarkan robot-robotan kecil dan boneka
kertas dari dalam tas pinggangnya.
Melihat oleh-oleh yang dibawa bapaknya, anak-anak senang bukan kepalang! “Asyiiik!” Teriak si sulung, melompat gembira.
Sementara itu, anak perempuannya tersipu, tak lama kemudian ia
menghampiri bapaknya lalu mencium pipi lelaki penjual pisang itu,
“Makasih, Bapak.” Bisiknya.
Istrinya tersenyum. Ia merasakan kebahagiaan luar biasa berbunga di hatinya. “Ayo kita makan.” Katanya lembut.
***
Malam itu, lelaki penjual pisang yang malang, yang berjalan puluhan kilo
dengan keringat mengucur dari keningnya, menjajakan pisang dari gang ke
gang, menjadi juara di rumahnya sendiri.
Di luar rumah, suara jangkrik bersahutan. Deru knalpot bocor. Pijar
lampu 10 watt. Suara tawa terdengar berderai dari dalam rumah kontrakan
mungil lelaki penjual pisang.
Lihatlah, Kalky, kebahagiaan adalah soal bagaimana kita menjadi juara
bagi diri kita sendiri. Maka, jadilah juara bagi dirimu sendiri.
Yakinlah, teruslah melangkah, jangan biarkan dirimu dikalahkan rasa
takut dan ragu. Sebab, setiap orang adalah juara bagi dirinya sendiri.
***
Di sebuah sofa di rumah mewah, dua lelaki sedang duduk berdampingan.
Seorang ayah dan anak laki-lakinya. Beberapa jarak dari sofa itu,
puluhan trofi penghargaan menghiasi sebuah lemari jati. Tepat di hadapan
‘lemari prestasi’ itu, puluhan foto dipasang hampir memenuhi tembok;
foto-foto yang penuh sejarah kemenangan dan diambil dengan berbagai
latar belakang kota dunia; Tokyo, New York, Moscow, Dubai, Canberra.
“Di mata sebagian orang, ayahmu ini barangkali dianggap juara sejati,
Kalky. Berbagai penghargaan pernah ayah dapatkan, dari level desa hingga
dunia. Dan kau? Apakah harus seperti ayah? Tidak, Kalky. Kau bisa
menjadi dirimu sendiri. Kau bisa bersinar dengan cahayamu sendiri.”
“Jadi, jangan khawatir jika kau tak seperti Ayah. Jadilah dirimu
sendiri. Setiap orang bisa menjadi juara bagi dirinya sendiri, Kalky.
Kau tahu mengapa sejak tadi aku ceritakan kisah lelaki penjual pisang?”
Anak laki-laki itu menggeleng pelan.
Beberapa saat mereka terdiam. Sampai ayahnya menunjuk ke arah sebuah
foto yang terpajang di salah satu dinding ruangan; foto seorang lelaki
tua berpenampilan sederhana, “Lelaki itu, Kalky,” kata sang ayah dengan
suara tercekat, “Dialah penjual pisang itu. Kakekmu. Dialah juara bagi
hidupnya sendiri, dan juara sejati dalam kehidupanku. Tak tertolak!”
Beberapa saat anak laki-laki itu memandangi gambar kakeknya dalam foto;
Dia teringat kisah tentang langkah-langkah kakeknya menyusuri jalan demi
jalan, gang demi gang, menjual pisang. Dia melihat ayahnya. Dia melihat
sekeliling nya. Dia melihat dirinya sendiri. Lelaki itulah, kata anak
itu dalam hati, penjual pisang itu, dengan seluruh kesederhanaan nya,
dialah sang juara yang sesungguhnya! Kakekku!
Sumber : Novel Hidup Berawal Dari Mimpi – Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black
http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/06/gilaa-wanita-ini-lebih-pintar-dari.html
BalasHapushttp://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/06/menteri-susi-tidur-pulas-di-sofa.html
http://detik206.blogspot.com/2017/06/hujan-es-di-medan-sumatera-utara.html
http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/06/astagaaa-sekelompok-anak-di-bawah-umur.html
HALLO TEMAN-TEMAN DAFTARKAN SEGERA DIDOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !
SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN TEMAN-TEMAN^_^
UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683
http://taipannnewsss.blogspot.co.id/2018/04/jatuh-cinta-pada-pasangan-berulangkali.html
BalasHapusQQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!
Tulis bagian lainnya dong...
BalasHapus